-->

Kisah Umiy Maslamah


Perkenalkan nama saya Umiy Maslamah yang kini berusia 16 tahun. Di sini saya akan menceritakan sedikit cerita saya, kini saya masih duduk di bangku SMA kelas Xl. Tanah kelahiran saya di kota Rembang, kota sederhana dengan kearifan lokal dan budaya yang unik. saya adalah anak pertama. Ibu saya bernama Mafrukhatul unaefah ibu saya adalah anak pertama dari Minhatul jauharah (nenek) dan Nur yazid (kakek) ibu saya anak pertama dari 5 bersaudara Ayah saya bernama Achmad saerofi ayah saya adalah anak pertama dari 3 bersaudara dari pasangan Sholihah (nenek) dan Najat (Kakek) saya tinggal bersama kakek & nenek dari ibu saya , karena orangtua saya bercerai ketika saya berusia 2 tahun. saya tidak tanu alasan pasti kenapa mereka bercerai karena saat itu saya masih berusia 2 tahun dan sampai sekarang  tidak ada satu pun orang yang mau menceritakan tentang hal itu. Saya memilih tinggal dengan kakek nenek saya bukan tanpa alasan, saya lebih memilih tinggal bersama mereka karena, hanya bersama mereka saya bisa menemukan kenyamanan, dan kasih sayang yang sebenarnya. mereka selalu memberikan kasih sayang yang lebih dari cukup oleh karena itu saya lebih memilih tinggal bersama mereka. 

Tidak mudah menjadi anak yang berasal dari keluarga yang tidak sempurna alias keluarga pisah,bercerai, tidak serumah lagi setiap ada acara sekolah tidak ada satu pun yang mewakili saya karena mereka sibuk dengan keluarga barunya masing-masing. Saya pun menjadi orang yang sangat tidak percaya diri dan menutup diri. saya sangat malas jika dicap sebagai anak yang broken home, saya sebal di banding- bandingkan dengan anak dari keluarga lengkap. saya ingin keluarga saya lengkap.... tapi ya tidak mungkin. saya memiliki 5 saudara tiri 3 saudara dari ibu dan 2 saudara dari ayah. 

Ketika orang mengetahui bahwa saya adalah anak broken home, mereka selalu
memberikan stereo type negatif karena secara logika anak-anak yang kekurangan kasih sayang dan perhatian memang berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Padahal sih saya anak baek baek hehehe. kalau kata saya "Keluarga yang harusnya jadi rumah ternyaman,justru malah menjadi luka yang paling terkesan."

Tolong jangan berikan stereo type negatif pada anak korban perceraian, kami hanya korban lhoo.. dan harusnya kami ini dirangkul, bukan disisihkan. Emang sih ada beberapa oknum yang bikin anak-anak korban perceraian selalu dicap negatif, tapi ngga semua gitu kan yaa. banyak juga yang berprestasi dan menjadikan pengalaman keluarga menjadi pelajaran pribadi. 

Perlu diingat, anak korban perceraian lebih rentan daripada anak yang ditinggal meninggal oleh orangtuanya, karena luka yang dirasakan jauh berbeda. Apabila perceraian terjadi secara tidak baik baik. Jadi apabila anak korban perceraian bisa tetap tabah, mandiri, dan berprestasi, harus betul di apresiasi, karena mereka mempunyai pergulatan batin hebat di dalam yang tidak di ketahui semua orang. Jadi, tolong hentikan call us broken home product, kami tidak broken, kami bekerja utuh, punya hati, punya berasaan, punya kemampuan, kami sama seperti anak-anak lainnya, jangan menganggap kami negatif, dan diberikan stereo type aneh- aneh, stop lakukan  hal itu... Just stop....

Penulis adalah Umiy Maslamah, siswa SMA Negeri 1 Pamotan kelas XI IPS 5