-->

Cerita Penelitian Kami Tentang Pahlawan Lasem - Bagian 3


Perjalanan kami lanjutkan pada tanggal 10 Agustus 2023 untuk menelusuri jejak-jejak para tokoh perjuangan di Perang Lasem seperti, makam Raden Panji Margono, Oei Ing Kat, dan Tan Shi Kho. Sebelumnya kami mencoba untuk mencari tambahan referensi baru dengan salah satu pengasuh pondok pesantren Kauman yang bernama Gus Zaim (beliau keturunan dari Kyai Ali Baidhowi). Namun, dikarenakan beliau sedang tidak berada di tempat, kami memutuskan untuk berpamitan dan melanjutkan perjalanan kami menelusuri jejak-jejak para tokoh perjuangan di Perang Lasem. Penelusuran yang pertama kami lakukan dengan memohon bantuan dari Mas Karim (karyawan dinas Pariwisata Kabupaten Rembang) untuk mengunjungi makam para tokoh perjuangan di Lasem.

Makam pertama yang kami kunjungi dengan mas Karim adalah makam Oei Ing Kat, yang berada di puncak Gunung Bugel, Lasem. Menurut penuturan mas Karim, Oei Ing Kyat pada peristiwa Perang Lasem tahun 1740, menjabat sebagai Adipati Lasem. Namun, paska perlawanan masyarakat LAsem pada tahun 1741 posisi jabatan Oei Ing Kiat diturunkan oleh Pakubuwono II ( karena Mataram saat itu mendukung Belanda) menjadi seorang Mayor (dalam artian kuasa politik Oei Ing Kiat hanya sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa). Tidak lama kemudian, Oleh Belanda jabatan Adipati Lasem diserahkan kepada Surohadimenggolo III yang berasal dari Semarang serta pemindahan kekuasaan secara politik dari Lasem menuju ke Rembang. Oei Ing Kiat melanjutkan perjuangannya dengan memimpin masyarakat Tionghoa dalam melakukan perlawanan terhadap VOC bersama sama dengan Raden Panji Margono dan Kyai Ali Baidhowi. Puncaknya pada tahun 1750, terjadilah pertempuran antara masyarakat Lasem yang terdiri dari beberapa golongan di bawah pimpinan Oei Ing Kiat, Raden Panji Margono dan Kyai Ali Baidhowi.pada pertempuran ini, Raden Panji Margono dan Oei Ing Kat gugur. Jenazah Oei Ing Kiat dikebumikan di puncak Gunung Bugel, Lasem. Alasan beliau dimakamkan di Puncak Gunung Bugel dikarenakan wasiat Oei Ing Kiat serta kepercayaan dan filosofi masyarakat Tionghoa bahwa semakin tinggi letak makam, maka akan semakin dekat pula dengan Sang Pencipta.

Makam Raden Panji Margono (Fotografer Diyah Evita Sari, 2023)

Setelah dari makam Oei Ing Kat, kami melanjutkan menelusuri makam tokoh Raden Panji Margono yang berada di sebuah tempat yang terdapat punden di sekitar makam Raden Panji Margono di kawasan Desa Dorokandang. Di makam Raden Panji Margono terdapat 2 pohon besar yang dapat dijadikan sebagai penanda mengenai keberadaan makam Raden Panji Margono.

Makam Tan Shin Kho (Fotografer: Diyah Evita Sari, 2023)

Selesai dari makam Raden Panji Margono, kami melanjutkan penelusuran jejak tokoh yang terakhir yaitu Tan Shi Kho, tokoh perlawanan dari etnis Tionghoa yang turut terlibat dalam perang Lasem pada tahun 1741 di daerah Welahan, Jepara. Dalam pertempuran ini Tan Shi Kho secara politik, menjabat sebagai Panglima Perang masyarakat Tionghoa dan berhasil memukul mundur pasukan VOC. Sebagian pasukan Tan Shi Kho menuju ke gunung Argasoka untuk berlindung dari serangan balasan VOC sedangkan Tan Shi Kho bersama 7 orang temannya memilih untuk menaiki perahu di Pantai Lasem untuk menyeberang ke Pulau Bawean. Dalam perjalanan menuju ke Pulau Bawean, perahu Tan Shi Kho diketahui oleh Belanda sehingga terjadilah pertempuran dengan jarak dekat antara perahu Tan Shi Kho kapal VOC. Ketujuh teman Tan Shi Kho berhasil menyelamatkan diri, sedangkan Tan Shi Kho gugur dan jenazahnya dikebumikan di area persawahan di kawasan desa Jolotundo, Kecamatan Lasem.

Tugu atau Monumen Perang Kuning (Fotografer: Diyah Evita Sari, 2023)

Di akhir penelusuran jejak, kami mengunjungi Klenteng Cu An Kiong yang berada di daerah Pereng, Desa Soditan Lasem. Alasan kami mengunjungi Klenteng tersebut dikarenakan terdapat tugu dan diorama perlawanan Perang Kuning 1741. Disana kami merangkum catatan-catatan peristiwa mengenai perang Kuning yang terpajang di dalam diorama tersebut,dan setelahnya kami mengambil foto tugu dan diorama tersebut untuk dokumentasi. 

Penulis adalah Diyah Evita Sari 
Editor adalah Bayu Setyo Nugroho, S.Pd
Fotografer: 
Bayu Setyo Nugroho, S.Pd