-->

KAJIAN AWAL TENTANG TUMPENG PESISIRAN


Penulis: Suhadi(Guru Sosiologi di SMA Negeri 1 Pamotan) 

Tulisan ini berisikan kajian awal tentang tumpeng pesisiran, atau tepatnya tentang tumpeng itu sendiri. Tulisan ini dibangun dari kajian dokumen yang telah tersebar di ragam jurnal dalam dan luar negeri. Dari kumpulan dokumen kajian tumpeng tersebut kemudian diolah sedemikian rupa dalam rangka memvisualkan secara deskriptif tentang apa itu tumpeng, makna tumpeng, relasi tumpeng dengan media pembelajaran ilmu pengetahuan, media tumpeng untuk komoditi sosialisasi program pemerintah, serta  diskursus tumpeng untuk kesejahteraan sosial. Akhir dari tulisan ini tidak lain adalah untuk mengajak para pembaca untuk berekspresi dalam konteks sosiologis tentang apa dan bagaimana aksi sosial kita dalam berinteraksi dengan tumpeng yang telah menjadi ikon kuliner nusantara. 

Lestari (2016) dalam tulisannya yang berjudul Nasi Tumpeng, A Way To Convey The Message Through Meaningful Signs. International Review of Humanities Studies, memaparkan dengan apik tentang bagaimana mengenal tumpeng dari cerita tutur. Ada banyak pendapat tentang kata tumpeng. Ada yang berpendapat bahwa tumpeng berasal dari kata tumpeng berasal dari tumumpang ing… dan sakkupeng ing…. Kata tumumpang ing… mengacu pada nasi berbentuk kerucut yang berada di atas sedangkan sakkupeng ing… mengacu pada lauk pauk yang ada di sekitar nasi berbentuk kerucut (Lestari, 2016:41).  

Dalam hal bentuk, Rodhi (2007) menginformasikan bahwa setiap tumpeng terdiri dari tumpeng kerucut dan tumpeng parabolik. Namun menurut Alfajria & Sudjudi (2015) bentuk tumpeng tidak selalu demikin, dimana tumpeng selalu muncul dalam beragam bentuk dan kelengkapan. Keragaman bentuk tumpeng inilah, menurut Sugiman (2019) telah menjadi ekspresi nilai estetika masyarakat Jawa dalam menghias makanan.

Makna tumpeng kerapkali dihubung-hubungkan dengan ruang kebatinan masyarakat Jawa. Makna klasik yang melangit itu kemudian tidak mudah dijangkau oleh generasi muda. Beberapa studi tumpeng yang berhubungan dengan makna klasik dapat dilihat pada studi Sutiyono (1998) dan Rondhi (2007). Menurut Sutiyono (1998:2) tumpeng dan gunungan dalam kebudayaan masyarakat Jawa menjadi simbol dari berbagai fenomena, antara lain keselamatan, kedamaian, dan keseimbangan alam. Begitu halnya dengan Rodhi (2007) Ia memaknai tumpeng dalam studut pandang alam kebatinan seks orang Jawa. Menurut Rodhi, makna tumpeng kerucut adalah simbolisasi dari kelamin laki-laki (kerucut) dan tumpeng parabolik merupakan simbolisasi dari perut atau rahim seorang perempuan. Hal senada juga disampaikan Suparman (2019:75) dimana tumpeng masih digunakan untuk dipersembahkan kepada pasangan pengantin saat ritual suci keagamaan. Bahkan dalam studi terbaru yang dilakukan Fitriana (2021) tumpeng juga masih direpresentasikan dengan ritual peneguhan mereka pada roh yang telah menjaga desa.  Sulastri & Apriyani (2021) tumpeng masih digunakan struktur sosial sebagai alat pengesahan pranatapranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan (pedagogical device), dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota.
Penelitian-penelitian tentang tumpeng ternyata tidak sebatas pada kajian makna saja. Beberapa peneliti telah mengkaji hubungan tumpeng dengan kajian ilmu pengetahuan yang lain. Penelitian tumpeng yang berhubungan dengan kajian ilmu pengetauan dapat dilihat dari penelitian tumpeng juga dihubungkan dengan potensi dan pengenalan tempat tinggal. Studi tersebut dapat dilihat pada Lestari (2016) dimana ia telah memaparkan bahwa pesan yang bisa ditangkap dari sebuah tumpeng adalah tentang lokasi tempat tinggal mereka. Melalui tumpeng, mereka mencoba mengungkapkan bahwa ada dua dunia, darat dan laut yang dapat memenuhi kebutuhan pangan manusia. Masyarakat menyadari bahwa lokasi yang sangat strategis dan bermanfaat. Masyarakat perlu menjaga lingkungan hidup sekaligus menjaga Kesehatan. Masyarakat melihat bahwa mereka bisa tidak hidup sendiri sehingga harus menjaga kesadaran sosial terhadap masyarakat dan lingkungan, sebagai klimaks untuk menyampaikan pesan hubungan manusia dan pencipta.

Penelitian tumpeng yang cukup maju juga telah dilakukan oleh Thamrin, Santoso & Prayitno (2017:12), Ferdiana & Nasir (2017),  dan Kurnia, Susilo & Mardiana (2018) dimana penelitian tersebut sepakat bahwa tumpeng telah digunakan ikon simbolik untuk pendidikan gizi anak yang terbukti mampu mempengaruhi anak dalam pengenalan gizi Seimbang terhadap pengetahuan gizi dan pola makan anak. Masih dalam tema penelitian tumpeng untuk pengembangan ilmu pengetahuan, hal menarik juga dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan Himmah dkk (2019) dimana bahan, bentuk, dan aktifitas tumpeng dapat ditransformasikan dalam abstraksi matematika etnis. Sebuah terobosan yang menarik untuk dikembangkan.

Dalam penelitian Alfath dan Permana (2016:168) tumpeng memiliki tiga dimensi dalam pemanfaatannya. Pertama, tumpeng pelestarian tradisi dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Kedua, tumpeng untuk promosi pariwisata setelah menurunnya jumlah wisatawan setelah letusan tahun 2014. Ketiga, tumpeng untuk media komoditas politik teritorial terkait dengan sengketa dengan wilayah. Hal senada juga dapat dilihat penelitian yang dilakukan Rusdiana (2019) yang telah melangkah lebih jauh tentang pemaknaan fungsi tumpeng, dimana tumpeng telah digunakan untuk sumber ide penciptaan motif batik untuk busana pesta wanita. Terlebih penelitian yang dilakukan Siregar (2018:378) dan Putra, Kartini, & Dewi (2020:98)  tumpeng telah dijadikan media dalam program pemberdayaan masyarakat miskin, dimana kelompok masyarakat mendapatkan pendampingan membuat tumpeng untuk dipasarkan secara luas guna meningkatkan kesejahteraan kelompok sosial yang rawan. 

Walaupun demikian, reaksi keras terhadap kecemasan tersingkirnya kuliner tradisional telah disampaikan oleh Krisnadi (2020:39) dalam penelitiannya yang berjudul Tumpeng in The Era Of Globalization. Krisnadi mencoba mengembalikan ingatan kita tentang tumpeng yang selalu dihidangkan pada acara merayakan hari ulang tahun, syukuran, yang bersifat non-formal ataupun formal. Namun di era globalisasi dalam bidang kuliner dengan masuknya kuliner tradisional dari negara Asia, Timur Tengah, dan Barat ketenaran kuliner asing tersebut telah berhasil mengeser kedudukan tumpeng sebagai kuliner tradisional dan identitas bangsa. Melalui penelitiannya tersebut, Ia mengajak kita semua untuk bagaimana caranya dalam membangkitkan ketenaran dan kesakralan tumpeng di masa lalu, kepada masyarakat khususnya generasi muda, dan menanamkan rasa bangga dan mencintai tumpeng sebagai kuliner tardisonal Indonesia. Hal demikian juga senafas dengan pandangan Setyonugroho (2020) tentang apa dan siapa saja yang ada di desa harus memiliki visi untuk kemajuan desanya. Hanya saja Krisnadi dan Setyonugroho belum memberi resep tentang langkah-langkah strategis apa yang dilakukan agar tumpeng menjadi pilihan kuliner yang tidak lekang oleh generasi zaman. Kajian yang terkesan lebih maju dalam hal menggunakan produk kearifan lokal untuk pemajuan desa terlihat telah dilakukan oleh Hermansah (2021) dimana Ia dengan tegas memilih jalan daya sosial dan budaya dapat digunakan untuk memajukan desanya. Namun ketegasan Hermansah belum disertai dengan bagaimana skema yang apik dalam menyusun rekasayasa pemajuan kebudayaan desa melalui tumpeng. Lantas bagaimana dengan reaksi kalian?

Budaya  makanan  Indonesia  dibentuk  oleh  beberapa  faktor  seperti  alam,  sejarah,  dan  budaya.  Menurut Soemardjan (1985) perkembangan gaya kuliner kita dipengaruhi oleh budaya lokal, agama dan perdagangan. Dengan  keanekaragaman  geografis  dan  budaya  yang  sangat  besar  di Nusantara,  terbukti  masakan  Indonesia  kaya  akan  variasi  dan  rasa.  Karena  beragamnya  jenis  dan  gaya  kuliner  di  Indonesia,  sulit  untuk  menentukan  makanan  mana  yang  bisa  dipilih  untuk  mewakili  Indonesia  secara  keseluruhan. 

Pada tahun 2012 Pemerintah  Indonesia  meluncurkan  Tumpeng  sebagai  ikon  makanan  tradisional  Indonesia (Kemenparekraf RI, 2012) karena dapat mewakili budaya dan cara hidup masyarakat Indonesia melalui bahan, warna,bentuk dan teknik penyajiannya. Tumpeng  adalah  makanan  berbahan  dasar  nasi  berbentuk  kerucut yang  biasa  disajikan  dengan  lauk  seperti  sayuran,  daging,  ayam,  dan  telur  dalam  upacara  adat  Jawa.  Dalam khasanah Jawa, ragam tumpeng dapat dikenal mulai dari tumpeng   kuning   (kuning),   putih   (putih),  robyong,  gundhul,  kencana,  ropoh,  bango  tulak,  panggang,  dhuplak,  kendhit,  megono,  urubing  damar  dan  pangkur (Amangkunegara, 1986).
Salah satu khasanah tumpeng yang belum banyak dikenal secara luas adalah Tumpeng Pesisiran. Tumpeng ini tidak melulu didominasi ornamen gunungan dan berlauk daging dari hewan yang hidup di darat. Tumpeng pesisiran adalah tumpeng dengan gaya orang pesisir yang berdaulat dengan lauk dari hewan yang hidup di air laut atau tambak, dan sayuran dari tanaman pantai.

Melalui tumpeng, dapat dijadikan simbol persatuan sosial (Radix, 2014)  dalam merajut kenusantaraan dengan tetap daulat gizi seimbang (Soekirman, 2011). Harapan kedepan, Tumpeng Pesisiran dapat gunakan untuk ruang dialog dalam pemajuan desa-desa di Kawasan Pesisir melalui kuliner yang ikonik dan ke-Indonesia-an.

Sehubungan dengan hal tersebut, tumpeng pesisiran memiliki keunikan dari sisi objek maupun subjek. Dari sisi objek, keunikan tumpeng pesisiran terletak pada materi makanan yang didalamnya mengandung nutrisi seimbang yang diperlukan untuk asupan gizi setiap orang. Dan dari sisi subjek, keunikan tumpeng pesisiran terletak pada ketersediaan bahan, proses membuatnya, hingga kegiatan sosial-tradisi yang berdampingan. Dengan keunikan tersebut, tumpeng pesisiran menjadi menarik ketika digunakan untuk objek dan subjek penelitian sosial.

Rujukan Tulisan 
  • Alfajria, N., & Sudjudi, I. (2015). Ensiklopedia tumpeng. Visual Communication Design, 4(1), 180630.
  • Alfath, E. D., & Permana, Y. S. (2016). Festival 1000 Tumpeng: Komodifikasi tradisi, pariwisata, dan ‘territoriality’di Gunung Kelud The Festival of 1000 Tumpeng: Commodification of tradition, tourism, and ‘territoriality’in Kelud Mountain. Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, 29(4), 169-180.
  • Amangkunegara III. (1986), Serat Centhini (Suluk Tambangraras) Jilid II, Yayasan Centhini, Yogyakarta.
  • Cahyono, A. E. (2017). Evaluasi Pelaksanaan Authentic Assessment Berdasarkan Kurikulum 2013 Dalam Pembelajaran Ekonomi di SMA Islam Al-Hidayah Jember. EQUILIBRIUM: Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Pembelajarannya, 5(1), 1-13.
  • Ferdiana, S., & Nasir, M. (2017). Penerapan Media Tumpeng Gizi Seimbang Terhadap Pengetahuan Gizi Siswa Kelas 5-6 di SDN 11/262 Semolowaru. Infokes, 7(02), 17-21.
  • Fitriana (2021). Tumpeng Sewu Culinary Festival in Rituals of Bersih Desa Kemiren as Tourism Object 2015-2019. Jurnal Historica Vol 5 No 1. 
  • Hermansah, Angga. (2021). Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun. Yogyakarta: Lintas Nalar
  • Himmah, F., Monalisa, L. A., Pambudi, D. S., & Trapsilasiwi, D. (2019). Ethnomathematics Of Tumpeng And Banyuwangi Tumpeng Sewu Rituals As Students’ Worksheets. Pancaran Pendidikan, 8(1).
  • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI (2012), “Nasi Tumpeng Dipilih Menjadi Andalan Ikon Kuliner Tradisional Indonesia”, tersedia di: www.travel.detik.com/travel-news/d-2124932/nasi-tumpeng-jadi-pendorong-wisata-kuliner-indonesia (diakses 03 Maret 2023).
  • Krisnadi, A. R. (2020). Tumpeng Dalam Kehidupan Era Globalisasi Tumpeng In The Era Of Globalization. Jurnal Hospitality dan Pariwisata, 1(2).
  • Kurnia, A. R., Susilo, M. T., & Mardiana, M. (2018). Developing Balanced Nutrition Snakes and Ladders as Educational Media for Balanced Nutrition Tumpeng on Elementary School Student. Jurnal Dunia Gizi, 1(2), 65-70.
  • Lestari, N. S. (2016). Nasi Tumpeng, A Way To Convey The Message Through Meaningful Signs. International Review of Humanities Studies, 1(1).
  • Mustikarani, W., & Ruhimat, M. (2018). Kelemahan dan Keunggulan Implementasi Authentic Assessment dalam Pembelajaran Geografi. Jurnal Geografi Gea, 18(2), 147-153.
  • Putra, I. N. T. A., Kartini, K. S., & Dewi, L. G. K. (2020). Pelatihan Pembuatan Tumpeng Upakara sebagai Upaya Peningkatan Omset UKM Adi Upakara. WIDYABHAKTI Jurnal Ilmiah Populer, 2(3), 93-98.
  • Radix AP Jati, I. (2014). Local wisdom behind Tumpeng as an Icon of Indonesian Traditional Cuisine. Nutrition & Food Science, 44(4), 324-334.
  • Rondhi, M. (2007). Tumpeng: Sebuah Kajian dalam Perspektif Psikologi Antropologi. dalam Jurnal Imajinasi, 3 (1).
  • Rusdiana, E. Y. (2019). TUMPENG ROBYONG SEBAGAI SUMBER IDE PENCIPTAAN MOTIF BATIK UNTUK BUSANA PESTA WANITA. Ornamen, 16(1).
  • Setyonugroho, Exsan Ali. (2020). DASUN Jejak Langkah Dan Visi Kemajuannya. Yogyakarta: CV Lintas Nalar
  • Siregar, O. M. (2018). Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Kelompok Keluarga Miskin Untuk Menambah Penghasilan Melalui Pelatihan Pembuatan Tumpeng Mini Di Kelurahan Pulo Brayan Bengkel Medan. Abdimas Talenta: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 3(2), 378-382.
  • Soekirman (2011), “Mengambil sejarah gizi Indonesia untuk melompat menuju generasi masa depan yang lebih baik: pengembangan pedoman gizi Indonesia”, Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, Vol. 20 No.3, hlm.447-451.
  • Soemardjan, S. (1985), “Pengaruh Budaya Terhadap Pangan Dan Gizi: Kasus Indonesia”, dalam Biswas, N. dan Pinstrup-Andersen, P. (Ed), Nutrition and Development, Oxford Univesity Press, Oxford, hlm.163-181.
  • Sugiman. (2019). Nilai Estetika Tumpeng Jawa. Widya Aksara : Jurnal Agama Hindu, 22(1). https://doi.org/10.54714/widyaaksara.v22i1.21
  • Sulastri, Y., & Apriyani, T. (2021). Tradisi Kepungan Tumpeng Tawon Desa Mangunweni Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen: Kajian Folklor. MIMESIS, 2(2), 138-146.
  • Suparman, I. N. (2019). BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA TRADISI NGEJOT TUMPENG. Widya Genitri: Jurnal Ilmiah Pendidikan, Agama dan Kebudayaan Hindu, 10(2), 75-85.
  • Sutiyono, S. (1998). Tumpeng Dah Gunungan: Makna Simbolpknya Ipa1, lkm Kehudman Masyaraw Jawa. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2(2).
  • Thamrin, H., Santoso, S., & Prayitno, A. (2017). Pengaruh Media Puzzle Tumpeng Gizi Seimbang Terhadap Pengetahuan Gizi dan Pola Makan Anak Taman Kanak–Kanak. Jurnal Gizi Dan Kesehatan, 1(1), 12-23.
  • Utami, B. (2009). Pengaruh strategi peta konsep dan diagram vee terhadap hasil belajar siswa pada pokok bahasan larutan penyangga yang diukur dengan authentic assessment (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Malang).
  • Wardah, F. (2018). Pengembangan instrumen authentic assessment berupa penilaian proyek untuk mengukur kompetensi keterampilan siswa (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
  • Wijaya, S. (2019). Indonesian food culture mapping: a starter contribution to promote Indonesian culinary tourism. Journal of Ethnic Foods, 6(1), 1-10.
  • Winasis, S. (2010). Penerapan metode student teams achievement divisions (stad) disertai authentic assessment untuk meningkatkan partisipasi dan penguasaan konsep dalam pembelajaran biologi siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Nguter.
  • Wiyarsi, A. (2009). Penilaian proyek sebagai implementasi authentic assessment untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan kerja ilmiah mahasiswa. Jurnal Pendidikan Kimia FMIPA UNY. Yogyakarta: UNY.